Pandangan Masyarakat Terhadap Akad Nikah Lewat Telepon Menurut Hukum Islam

MAKALAH MANDIRI SOSIOLOGI HUKUM
PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP AKAD NIKAH LEWAT TELEPON MENURUT HUKUM ISLAM


Dosen Pengampu:
Hi. Azmi Siradjuddin. Lc., M. Hum.

stain-metro

Disusun Sebagai Tugas Mandiri
oleh:

Nama  : Roby Agus Hariyanto
NPM   : 1286813

PROGRAM AL-AHWAL ASY-SYAKSHIYYAH  (AS)
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
 JURAI SIWO METRO

TA. 2013

KATA PENGANTAR


           Bismillah 09.BMP

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillahirobil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulisan makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mandiri yang telah di berikan oleh Bapak Hi. Azmi Siradjuddin. Lc., M. Hum. Selaku dosen dari materi Sosiologi Hukum. Atas tersusunnya makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Metro, 04 Mei 2013

Penulis

DAFTAR ISI
           

HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................    iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A.       Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
B.       Rumusan Masalah.................................................................................... 2
C.       Tujuan Perumusan Masalah................................................................ .... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... .... 3 
PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP AKAD NIKAH
LEWAT TELEPON MENURUT HUKUM ISLAM..........................       3
A.       Pengertian Masyarakat....................................................................... .... 3 
B.       Pengertian Nikah................................................................................ .... 4   
C.       Rukun Nikah...................................................................................... .... 5 
D.       Pandangan Masyarakat Terhadap Akad Nikah Lewat Telepon
Menurut Hukum Islam....................................................................... .... 6
E.        Analisis Tentang Pandangan Masyarakat Terhadap Akad Nikah
Lewat Telepon....................................................................................     11
BAB III KESIMPULAN….............................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA…................................................................................ .. 15

BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang Masalah
Sebagai fuqoha’ dalam mengemukakan hakekat perkawinan hanya menonjolkan aspek lahiriyah yang bersifat normatif. Seolah-olah akibat sahnya sebuah perkawinan hanya sebatas timbulnya kebolehan terhadap sesuatu yang sebelumnya sangat dilarang, yakni berhubungan badan antara laki-laki dengan perempuan. Dengan demikian yang menjadi inti pokok pernikahan itu adalah akad (pernikahan) yaitu serah terima antara orang tua calon mempelai wanita dengan calon mempelai laki-laki.
Perkawinan umat Islam di Indonesia juga mengacu pada pedoman hukum Islam. Dengan perkataan lain hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia sesuai dengan hukum Islam sebagaimana pemahaman kalangan fuqoha’. Perkawinan juga bertujuan untuk memperluas dan mempererat hubungan kekeluargaan, serta membangun masa depan individu keluarga dan masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, jika telah ada kesepakatan antara orang pemuda dengan seorang pemudi untuk melaksanakan akad nikah pada hakekatnya kedua belah pihak telah sepakat untuk merintis jalan menuju kebahagiaan lahir batin melalui pembinaan yang ditetapkan agama.
Barangkali, faktor-faktor yang ditetapkan terakhir inilah yang lebih mendekati tujuan hakekat dari perkawinan yang diatur oleh Islam. Oleh sebab itu, sah tidaknya perkawinan menurut Islam adalah tergantung pada akadnya. Karena sedemikian rupa pentingnya akad dalam perkawinan itu maka berdasarkan dalil-dalil yang ditemukan, para fuqoha’ telah berijtihad menetapkan syarat-syarat dan rukun untuk sahnya sesuatu akad nikah. Sebagaimana hasil ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai permasalahan baru dalam soal perkawinan yaitu tentang sahnya akad nikah yang ijab qabulnya dilaksanakan melalui telepon.

B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat penulis tentukan adalah sebagai berikut:
a.         Apa pengertian masyarakat secara etimologi dan terminologi ?
b.         Apa pengertian nikah secara etimologi dan secara terminologi ?
c.         Apa saja rukun-rukun yang terdapat dalam nikah ?
d.        Bagaimana pandangan masyarakat terhadap akad nikah lewat telepon menurut hukum Islam ?
e.         Seperti apa analisis tentang pandangan masyarakat terhadap akad nikah lewat telepon ?

C.      Tujuan Perumusan Masalah
Adapun tujuan dari perumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
a.         Untuk mengetahui pengertian masyarakat secara etimologi dan terminologi.
b.         Untuk mengetahui pengertian nikah secara etimologi dan secara terminologi.
c.         Untuk mengetahui rukun-rukun yang terdapat dalam nikah.
d.        Untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap akad nikah lewat telepon menurut hukum Islam.
e.         Untuk mengetahui analisis tentang pandangan masyarakat terhadap akad nikah lewat telepon.




BAB II
PEMBAHASAN
PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP AKAD NIKAH LEWAT TELEPON MENURUT HUKUM ISLAM


A.      Pengertian Masyarakat
Manusia adalah makhluk sosial. Ia hidup dalam hubungannya dengan orang lain dan hidupnya bergantung pada orang lain. Karena itu manusia tak mungkin hidup layak di luar masyarakat. Masyarakat sangat luas dan dapat meliputi seluruh umat manusia. Masyarakat terdiri atas berbagai kelompok, yang besar maupun yang kecil bergantung pada jumlah anggotanya.[1]
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.
Masyarakat merupakan sekumpulan orang yang hidup di suatu wilayah yang memiliki aturan atau norma yang mengatur hubungan satu sama lain. Pola hubungan antar individu dalam masyarakat tersebut pada dasarnya memiliki nilai-nilai yang di akui bersama dan di abadikan dalam norma dan aturan yang pada umumnya tidak diverbalkan.[2]
Masyarakat dapat diartikan sebagai suatu bentuk dengan tata kehidupan sosial dengan tata nilai dan tata budaya sendiri. Dalam arti ini, masyarakat adalah wadah dan wahana pendidikan. Dalam arti yang terperinci, masyarakat adalah sekelompok manusia yang menepati daerah tertentu, menunjukkan integrasi berdasarkan pengalaman bersama berupa kebudayaan, memiliki sejumlah lembaga yang melayani kepentingan bersama mempunyai kesadaran dan kesatuan tempat tinggal dan dapat bertindak bersama. Dalam pengertian ini menunjukkan betapa pentingnya arti masyarakat dan kehidupan manusia, sebab manusia tidak mungkin dapat hidup sendiri tanpa kerjasama dan bantuan orang lain.[3]
Masyarakat adalah suatu sistem atau totalitas yang di dalamnya terdapat berbagai subsistem yang berjenjang secara struktural, mulai dari subsistem kepercayaan, subsistem nilai atau norma-norma, subsistem kebutuhan, dan subsistem permintaan.[4]

B.       Pengertian Nikah
Nikah ialah akad yang menghalalkan kedua belah pihak (suami dan istri) menikmati pihak satunya.[5] Secara etimologi nikah berasal dari kata “Nakaha-Yankihu” berarti mengawini dan menggauli, bermakna juga “dhomma wa jama’a” berarti menghubungkan atau menghimpun, dan dalam perkataan arab bermakna “al-wath-u” berarti bersetubuh. Sedangkan secara terminologi nikah berarti melaksanakan akad dengan seorang wanita dengan maksud untuk mendapatkan kenikmatan dengannya dan mendapatkan anak (keturunan) serta manfaat-manfaat yang lain yang ada hubungan dengan berbagai kemaslahatan dilaksanakan nikah.
Ta’rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan mahram. Faedah yang terbesar dalam pernikahan yang sejati dalam Islam adalah bermaksud untuk kemaslahatan dalam rumah tangga dan keturunan, juga untk kemaslahatan masyarakat. Oleh sebab itu, syariat Islam mengadakan beberapa peraturan untuk menjaga keselamatan pernikahan.[6]
Akad (nikah dari bahasa Arab عقد) atau ijab qabul, merupakan ikrar pernikahan. Yang dimaksud akad pernikahan adalah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dari qabul dari pihak calon suami atau wakilnya. Menurut syara’ nikah adalah satu akad yang berisi diperbolehkannya melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz انكاح (menikahkan) atau تزويج (mengawinkan). Kata nikah ini sendiri secara hakiki bermakna akad dan secara majazi bermakna persetubuhan menurut pendapat yang shoheh ;
ويطلق شرعا على عقد مشتمل على الاركان والشروطا

C.      Rukun Nikah
Adapun rukun nikah ada 5, yaitu :
1.         Wali
2.         Pengantin laki-laki
3.         Pengantin perempuan
4.         Dua saksi laki-laki
5.         Akad nikah

Akad nikah merupakan syarat wajib dalam proses atau ucapan perkawinan menurut Islam akad nikah boleh dijalankan oleh wali atau diwakilkan kepada juru nikah.
وشروط الصيغة كونها بصريح مشتق انكاح او تزويج ولو بغير العربية جيث فهما العقدان والشاهدان. ولا يصح عقد النكاح الا بولي غدل او ماذونه والعدالة ليست بشرط في الولى. وانما السرط عدم الفسق وفى بعض النسخ بولى ذكر وهو اي الذكور – إختراز عن الأنثى فانما لا تزوج نفسها ولا غيرها.

Syarat (akad) yaitu adanya akad itu jelas keluar dari lafadz نكاح atau تزويج (aku nikahi) walaupun akad tersebut tanpa menggunakan bahasa arab sekitarnya kedua lafadz itu dipahami oleh dua orang yang akad dan dua saksi.
Dan tidak sah akad nikah kecuali dengan wali yang adil, atau orang yang mendapatkan ijin wali. Syarat dalam wali itu disyaratkan tidak fasiq di sebagian nusakh itu harus wali laki-laki yang lebih diunggulkan dari pada wanita, karena sesungguhnya wanita itu tidak bisa menikahkan diri sendiri atau menikahkan orang lain.
ولا يصح عقد النكاح ايضا الا بحضور شاهدى عدل
Dan tidak sah juga akad nikah kecuali dengan hadirnya dua orang saksi yang adil.

D.      Pandangan Masyarakat Terhadap Akad Nikah Lewat Telepon Menurut Hukum Islam
Menentukan sah atau tidaknya suatu nikah, tergantung pada dipenuhi atau tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi, wali pengantin putri, dan ijab qabul. Namun, jika dilihat dari segi syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan atau kekurangan untuk dipenuhi.
Misalnya, identitas calon suami istri perlu dicek ada atau tidaknya hambatan untuk kawin (baik karena adanya larangan agama atau peraturan perundang-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari kedua belah pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah adalah cukup sukar. Demikian pula pengecekan tentang identitas wali yang tidak bisa hadir tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul langsung dengan telepon. Juga para saksi yang sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan pengantin putra lewat telepon dengan bantuan mikropon, tetapi mereka tidak bisa melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan. Demikian pula ijab qabul yang terjadi di tempat yang berbeda lokasinya, apalagi yang sangat berjauhan seperti antara Jakarta dan Bloomington Amerika Serikat yang berbeda waktunya sekitar 12 jam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Prof. Dr Baharuddin yang mengawinkan putrinya di Jakarta (dra. Nurdiani) dengan Drs. Ario Sutarti yang sedang belajar di Universitas Indiana Amerika Serikat pada hari sabtu tanggal 13 Mei 1989 pukul 10.00 WIB bertepatan hari jumat pukul 22.00 waktu Indiana Amerika Serikat.
Karena itu, nikah lewat telepon itu tidak sah dan dibolehkan menurut Hukum Islam, karena selain terdapat kelemahan atau kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syara’ sebagai berikut :
1.         Nikah itu termasuk ibadah. Karena itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah nabi yang shahih, berdasarkan kaidah hukum:
الاصل فى العبادة حرام
“Pada dasarnya, ibadah itu haram”.
Artinya, dalam masalah ibadah, manusia tidak boleh membuat-buat (merekayasa aturan sendiri).
2.         Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sacral dan syiar islam serta tanggungjawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat nisa’ ayat : 21.
y#øx.ur ¼çmtRräè{ù's? ôs%ur 4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ šcõyzr&ur Nà6ZÏB $¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî ÇËÊÈ  
Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (QS. Nissa’: 21)
3.         Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar/khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan hadist Nabi atau kaidah fiqih
لا ضرر ولا ضرارا
Tidak boleh membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada orang lain.
Dan hadis Nabi
دعما يريبك الا مالا يريبك
Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak meragukan engkau.
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah”.
Membahas tentang hukum pernikahan via telekomference tidak bisa lepas dari pembahasan rukun dan syarat pernikahan. Meskipun para ulama terjadi perbedaan pendapat tentang rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan, namun pada dasarnya mereka sepakat bahwa shighat ijab qabul adalah salah satu dari rukun yang harus dilaksanakan. Selain itu, Hanafiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabillah sepakat bahwa pernikahan harus dihadiri oleh dua orang saksi, kecuali Malikiyyah yang tidak mensyaratkan adanya saksi dalam akad perkawinan. Namun sebaliknya, beliau mensyaratkan adanya i'lan (pemberitahuan) pernikahan kepada halayak umum. Meskipun selain ijab qabul dan saksi masih ada rukun-rukun pernikahan yang lain, namun dua rukun tersebut sangat perlu adanya pembahasan secara mendetail dan mendasar untuk dapat menjawab dan menghukumi pernikahan via telekomference. Sebab pernikahan via telekomference erat sekali hubungannya dengan masalah shighat dan saksi.
Dalam masalah ijab qabul, para ulama mensyaratkan terhadap ijab qabul dengan beberapa syarat, yaitu:
ü   Diucapkan dengan kata-kata tazwij dan inkah, kecuali dari kecuali dari Malikiyyah yang memperbolehkan ijab qabul dengan memakai kata-kata hibbah (pemberian).
ü   Ijab Qabul harus dilaksanakan dalam satu majlis (satu tempat).
Pengertian satu majlis oleh jumhur ulama (mayoritas) difahamkan dengan kehadiran mereka dalam satu tempat secara fisik. Pendapat ini dikeluarkan oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, dan mereka juga pendapat bahwa surat adalah kinayah. Hal ini beda dengan Hanafiyyah, beliau memahami satu majlis bukan dari segi fisik para pihak, namun hanya ijab dan qabul para pihak harus dikatakan di satu tempat dan secara berkontiu. Dari pendapat ini, Hanafiyyah memperbolehkan akad nikah melalui surat, asalkan surat tersebut dibacakan didepan saksi dan pernyataan dalam surat segera dijawab oleh pihak-pihak. Menurut Hanafi, surat yang dibacakan di depan saksi dapat dikatakan sebagai ijab dan atau qabul dan harus segera dijawab. Dari pendapat Hanafiyyah tersebut, menurut KH. Sahal Mahfudz dapat dianalogkan bahwa pernikahan dianggap sah hukumnya dilakukan lewat media komunikasi seperti internet, teleconference dan faximile.
Sedangkan menurut pendapat yang shahih (ada yang mengatakan al-Madzhab) dari Ulama syafi'iyyah, ijab qabul tidak boleh dilakukan melalui surat-menyurat. Baik ijab kabul dalam transaksi muammalat lebih-lebih dalam pernikahan. Mereka beralasan bahwa ijab kabul adalah suatu sarana untuk menjukkan kedua belah pihak saling ridla akan adanya transaksi, dan ridla tidak bisa diyakinkan hanya melalui sepucuk surat. Selain itu, surat tidak cukup kuat dijadikan alat bukti oleh saksi apa bila telah terjadi persengketaan tentang akad tersebut.
Solusi yang ditawaran oleh Syafi'iyyah adalah dengan mewakilkan akad pernikahan kepada seseorang, kemudian wakil tersebut hadir dalam majlis akad pernikahan. Jika demikian (mewakilkan akad), maka para ulama sepakat bahwa transaksi yang diwakilkan hukumnya sah. Rasulullah SAW sendiri pernah mewakilkan pernikahannya kepada Amr bin Umiyyah dan Abu Rafi'.
Jumhur Ulama sepakat pernikahan tidak sah kecuali dengan hadirnya saksi-saksi. Kecuali ulama Malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan adanya saksi, namun pernikahan wajib diumumkan kepada halayak umum. Bagi ulama yang mewajibkan adanya saksi mensyaratkan sebagai berikut:
Ø   Aqil Baligh
Ø   Merdeka
Ø   Islam
Ø   Dapat mendengar dan melihat
Dari empat syarat daripada saksi di atas, hanya satu yang akan kita bahas bersama yaitu syarat mendengar dan melihat. Mendengar dan melihat adalah dua komponen yang harus bersama-sama. Tidak cukup hanya mendengar suara pihak-pihak tanpa adanya wujud secara fisik, begitu juga hanya melihat wujud fisik para pihak, na,un tidka mendengar suara ijab qabulnya.
Dari syarat tersebut, Syafi'iyyah sepakat menolak bahwa akad nikah yang dilakukan melalui pesawat telepon tidak sah, karena para saksi tidak melihat fisik para pihak. Hal ini karena tujuan saksi adalah mengantisipasi terjadinya persengketaan akad, dan mereka (saksi) tidak dapat diterima jika hanya mendengar suara tanpa rupa. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Muhammad Abu Bakar Syatha, bahwa saksi harus melihat dan mendengar ijab qabul secara langsung keluar dari mulut para pihak. Alasan dari pendapat ini adalah, bahwa seorang saksi harus dapat meyakini hal yang disaksikan dan tidak boleh hanya prasangka, sebab mendengar suara tanpa melihat rupa tidak dapat menimbulkan suatu keyakinan dalam hati saksi.
Namun ada yang menarik dari pendapat Ibnu Hajar Al-Astqolani, jika saksi meyakini bahwa yang ia dengar adalah betul suara para pihak dengan adanya indikasi-indikasi, maka hukumnya diperbolehkan. Indikasi tersebut seperti contoh, ia meyakini bahwa di dalam kamar hanya ada satu orang bernama Zaed dikarenakan ia sendiri telah memeriksa ke dalam kamar. Kemudian ia mendengar suara dari dalam kamar tersebut dan meyakini suara itu adalah suara Zaed. Jika demikian maka kesaksian saksi dengan hanya mendengar suara di dalam kamar diperbolehkan, sebab dalam benaknya ada keyakinan. Dari pendapat Ibnu Hajar tersebut dapat kita tarik benang merah bahwa, jika yang hadir dalam majlis tersebut (termasuk saksi) meyakini karena adanya indikasi-indikasi kuat bahwa yang sedang berbicara atau yang sedang dilihat dalam telekomference memang pihak yang bersangkutan, maka akad pernikahan hukumnya diperbolehkan dan sah.

E.       Analisis Tentang Pandangan Masyarakat Terhadap Akad Nikah Lewat Telepon
Peristiwa akad nikah lewat telepon itu mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat contohnya pada tanggal 13 Mei 1989 terjadi akad nikah jarak jauh Jakarta-Bloomington Amerika Serikat lewat telepon, yang dilangsungkan di kediaman Prof. Dr. Baharuddin Harahap di Kebayoran Baru Jakarta. Calon suami drs. Ario sutarto yang sedang bertugas belaar di program pasca sarjana Indiana University AS, sedangkan calon istri adalah dra. Nurdiani, putri guru besar IAIN Jakarta itu. Kedua calon suami istri itu sudah lama berkenalan sejak sama-sama belajar dari tingkat satu IKIP Jakarta, dan kehendak keduanya untuk nikah juga sudah mendapat restu dari orang tua kedua belah pihak.
Sehubungan dengan tidak bisa hadirnya calon mempelai laki-laki dengan alasan tiadanya beaya perjalanan pulang pergi AS- Jakarta dan studinya agar tidak terganggu, maka disarankan oleh pejabat pencatat nikah (KUA) agar diusahakan adanya surat taukil (delegation of authority) dari calon suami kepada seseorang yang bertindak mewakilinya dalam akad nikah (ijab qobul) nantinya di Jakarta.
Setelah waktu pelaksanaan akad nikah tinggal sehari belum juga datang surat taukil itu, padahal surat undangan untuk walimatul urs sudah tersebar, maka Baharuddin sebagai ayah dan wali pengantin putri mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara akad nikah pada tanggal 13 Mei 1989, antara lain dengan melengkapi pesawat telepon dirumahnya dengan alat pengeras suara (mikrofon) dan dua alat perekam, ialah kaset, tape recorder dan video. Alat pengeras suara itu dimaksudkan agar semua orang yang hadir di rumah Baharuddin dan juga di tempat kediaman calon suami di AS itu bisa mengikuti upacara akad nikah dengan baik, artinya semua orang yang hadir di dua tempat yang terpisah jauh itu dapat mendengarkan dengan jelas pertanyaan dengan ijab dari pihak wali mempelai putri dan pernyataan qabul dari pihak mempelai laki-laki; sedangkan alat perekam itu dimaksudkan oleh Baharuddin sebagai alat bukti otentik atas berlangsungnya akad nikah pada hari itu.
Setelah akad nikah dilangsungkan lewat telepon, tetapi karena surat taukil dari calon suami belum juga datang pada saat akad nikah dilangsungkan, maka kepala KUA Kebayoran Baru Jakarta Selatan tidak bersedia mencatat nikahnya dan tidak mau memberikan surat nikah, karena menganggap perkawinannya belum memenuhi syarat sahnya nikah, yakni hadirnya mempelai laki-laki atau wakilnya.
Peristiwa nikah tersebut mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat, terutama dari kalangan ulama dan cendekiawan muslim. Kebanyakan mereka menganggap tidak sah nikah lewat telepon itu, antara lain Munawir Syadzali, M.A Mentri Agama RI, K.H. Hasan Basri, ketua umum MUI pusat, dan prof. dr. Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka dapat membenarkan tindakan kepala KUA tersebut yang tidak mau mencatat nikahnya dan tidak memberikan surat nikahnya. Dan inti alasan mereka ialah bahwa nikah itu termasuk ibadah, mengandung nilai sacral, dan nikah lewat telepon itu bisa menimbulkan confused (keraguan) dalam hal ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syarat secara sempurna menurut hukum Islam.
Ada ulama yang berpendapat bahwa status nikah lewat telepon itu syubhat, artinya belum safe, sehingga perlu tajdid nikah (nikah ulang) sebelum dua manusia yang berlainan jenis kelaminnya itu melakukan hubungan seksual sebagai suami istri yang sah. Adapula ulama yang berpendapat, bahwa nikah lewat telepon tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim menganggap nikah lewat telepon itu tidak sah secara mutlak.
BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian yang penulis sampaikan di muka, dapat lah penulis simpulkan dan sarankan sebagai berikut :
a)        Masyarakat adalah sejumlah manusia yang merupakan satu kesatuan golongan yang berhubungan tetap dan mempunyai kepentingan yang sama. Sedangkan nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan mrnjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
b)        Nikah lewat telepon tidak boleh dan tidak sah, karena bertentangan dengan ketentuan hukum syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
c)        Akad dalam pernikahan adalah suatu hal yang sangat sakral dan merupakan peristiwa penting yang harus diabadikan. Sehingga Jumhur Ulama berpendapat pelaksanaan akad nikah terutama yang berhubungan dengan ijab qabul harus dilakukan dalam satu tempat (satu majlis). Pengertian satu majlis terjadi perbedaan pendapat:
v   Menurut Jumhur Ulama satu majlis difahamkan dengan berkumpulnya para pihak dalam satu tempat secara fisik.
v   Menurut Hanafiyyah dan sebagian kecil Syafi'iyyah memahamkan satu majlis adalah ijab qabulnya secara kontekstual bukan fisik nyata para pihak.
Selain itu antara ijab qabul harus kontinyu dan tidak ada penghalang. Hal ini tanpa memandang secara fisik para pihak hadir dalam majlis atau tidak, sebab menurut pendapat ini akad nikah (ijab atau qabul) melalui surat diperbolehkan.
d)       Penetapan atau putusan pengadilan agama Jakarta Selatan yang mengesahkan nikah lewat telepon No. 175/P/1989 tanggal 20 April 1990 merupakan preseden yang buruk bagi dunia Peradilan Agama di Indonesia, karena melawan arus dan berlawanan dengan pendapat mayoritas dari dunia Islam.
e)        penetapan peradilan agama tersebut hendaknya tidak dijadikan oleh para hakim pengadilan agama seluruh Indonesia sebagai yurisprudensi untuk membenarkan dan mengesahkan kasus yang sama .



DAFTAR PUSTAKA


Al-Jazairi, Abu Bakr  Jabir. Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim. Jakarta: Darul Falah, 2001.
Hamalik, Oemar. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2011.
Latif, Abdul. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: Refika Aditama, 2009.
Nasution. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Padil, Moh. dkk. Sosiologi Pendidikan. Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012.

Sumber Internet:



[1] Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 60.
[2] Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan, (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 33.
[3] Moh. Padil dkk. Sosiologi Pendidikan, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hh. 193-194.
[4]Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2011), h. 74.
[5] Abu Bakr  Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2001), h. 574.
[6] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), hh. 374-375.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ungkapan Dalam Sabab Al-Nuzul dan Urgensi Sabab Al-Nuzul

Al-Qur'an Sebagai Sumber Hukum dan Dalil Hukum