Pandangan Masyarakat Terhadap Akad Nikah Lewat Telepon Menurut Hukum Islam
MAKALAH MANDIRI
SOSIOLOGI HUKUM
PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP AKAD NIKAH
LEWAT TELEPON MENURUT HUKUM ISLAM
Dosen Pengampu:
Hi. Azmi Siradjuddin. Lc., M. Hum.

Disusun
Sebagai Tugas Mandiri
oleh:
Nama :
Roby Agus
Hariyanto
NPM : 1286813
PROGRAM AL-AHWAL ASY-SYAKSHIYYAH (AS)
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
TA. 2013
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahirobil’alamin, puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulisan makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
mandiri yang telah di berikan oleh Bapak Hi. Azmi
Siradjuddin. Lc., M. Hum. Selaku dosen dari materi
Sosiologi Hukum. Atas tersusunnya makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Metro, 04 Mei 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A.
Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.................................................................................... 2
C.
Tujuan Perumusan Masalah................................................................ .... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... .... 3
PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP AKAD NIKAH
LEWAT
TELEPON MENURUT HUKUM ISLAM.......................... 3
A.
Pengertian Masyarakat....................................................................... .... 3
B.
Pengertian Nikah................................................................................ .... 4
C. Rukun
Nikah...................................................................................... .... 5
D. Pandangan Masyarakat Terhadap Akad Nikah
Lewat Telepon
Menurut
Hukum Islam....................................................................... .... 6
E.
Analisis Tentang Pandangan Masyarakat Terhadap Akad Nikah
Lewat Telepon.................................................................................... 11
BAB III KESIMPULAN….............................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA…................................................................................ .. 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai fuqoha’ dalam mengemukakan hakekat
perkawinan hanya menonjolkan aspek lahiriyah yang bersifat normatif.
Seolah-olah akibat sahnya sebuah perkawinan hanya sebatas timbulnya kebolehan
terhadap sesuatu yang sebelumnya sangat dilarang, yakni berhubungan badan
antara laki-laki dengan perempuan. Dengan demikian yang menjadi inti pokok
pernikahan itu adalah akad (pernikahan) yaitu serah terima antara orang tua
calon mempelai wanita dengan calon mempelai laki-laki.
Perkawinan umat Islam di Indonesia juga mengacu
pada pedoman hukum Islam. Dengan perkataan lain hukum perkawinan yang berlaku
di Indonesia sesuai dengan hukum Islam sebagaimana pemahaman kalangan fuqoha’.
Perkawinan juga bertujuan untuk memperluas dan mempererat hubungan
kekeluargaan, serta membangun masa depan individu keluarga dan masyarakat yang
lebih baik. Oleh karena itu, jika telah ada kesepakatan antara orang pemuda
dengan seorang pemudi untuk melaksanakan akad nikah pada hakekatnya kedua belah
pihak telah sepakat untuk merintis jalan menuju kebahagiaan lahir batin melalui
pembinaan yang ditetapkan agama.
Barangkali, faktor-faktor yang ditetapkan
terakhir inilah yang lebih mendekati tujuan hakekat dari perkawinan yang diatur
oleh Islam. Oleh sebab itu, sah tidaknya perkawinan menurut Islam adalah
tergantung pada akadnya. Karena sedemikian rupa pentingnya akad dalam
perkawinan itu maka berdasarkan dalil-dalil yang ditemukan, para fuqoha’ telah
berijtihad menetapkan syarat-syarat dan rukun untuk sahnya sesuatu akad nikah. Sebagaimana hasil ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai permasalahan baru
dalam soal perkawinan yaitu tentang sahnya akad nikah yang ijab qabulnya
dilaksanakan melalui telepon.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat penulis tentukan adalah sebagai berikut:
a.
Apa pengertian masyarakat
secara etimologi dan terminologi ?
b.
Apa pengertian nikah
secara etimologi dan secara terminologi ?
c.
Apa saja rukun-rukun yang terdapat
dalam nikah ?
d.
Bagaimana pandangan masyarakat
terhadap akad nikah lewat telepon menurut hukum Islam ?
e.
Seperti apa analisis
tentang pandangan masyarakat terhadap akad nikah lewat telepon ?
C.
Tujuan Perumusan Masalah
Adapun tujuan dari perumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Untuk mengetahui
pengertian masyarakat secara etimologi dan terminologi.
b.
Untuk mengetahui
pengertian nikah secara etimologi dan secara terminologi.
c.
Untuk mengetahui
rukun-rukun yang terdapat dalam nikah.
d.
Untuk mengetahui pandangan
masyarakat terhadap akad nikah lewat telepon menurut hukum Islam.
e.
Untuk mengetahui analisis
tentang pandangan masyarakat terhadap akad nikah lewat telepon.
BAB II
PEMBAHASAN
PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP
AKAD NIKAH LEWAT TELEPON MENURUT HUKUM ISLAM
A.
Pengertian Masyarakat
Manusia adalah makhluk sosial. Ia hidup dalam
hubungannya dengan orang lain dan hidupnya bergantung pada orang lain. Karena
itu manusia tak mungkin hidup layak di luar masyarakat. Masyarakat sangat luas
dan dapat meliputi seluruh umat manusia. Masyarakat terdiri atas berbagai
kelompok, yang besar maupun yang kecil bergantung pada jumlah anggotanya.[1]
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah
sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem
semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah
antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata
"masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak.
Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan
antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen
(saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk
mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Menurut
Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah
masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama.
Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan
kemaslahatan.
Masyarakat merupakan sekumpulan orang yang
hidup di suatu wilayah yang memiliki aturan atau norma yang mengatur hubungan
satu sama lain. Pola hubungan antar individu dalam masyarakat tersebut pada
dasarnya memiliki nilai-nilai yang di akui bersama dan di abadikan dalam norma
dan aturan yang pada umumnya tidak diverbalkan.[2]
Masyarakat dapat diartikan sebagai suatu
bentuk dengan tata kehidupan sosial dengan tata nilai dan tata budaya sendiri.
Dalam arti ini, masyarakat adalah wadah dan wahana pendidikan. Dalam arti yang
terperinci, masyarakat adalah sekelompok manusia yang menepati daerah tertentu,
menunjukkan integrasi berdasarkan pengalaman bersama berupa kebudayaan,
memiliki sejumlah lembaga yang melayani kepentingan bersama mempunyai kesadaran
dan kesatuan tempat tinggal dan dapat bertindak bersama. Dalam pengertian ini
menunjukkan betapa pentingnya arti masyarakat dan kehidupan manusia, sebab
manusia tidak mungkin dapat hidup sendiri tanpa kerjasama dan bantuan orang
lain.[3]
Masyarakat adalah suatu sistem atau totalitas
yang di dalamnya terdapat berbagai subsistem yang berjenjang secara struktural,
mulai dari subsistem kepercayaan, subsistem nilai atau norma-norma, subsistem
kebutuhan, dan subsistem permintaan.[4]
B.
Pengertian Nikah
Nikah ialah akad yang menghalalkan kedua belah pihak
(suami dan istri) menikmati pihak satunya.[5] Secara
etimologi nikah berasal dari kata “Nakaha-Yankihu” berarti mengawini dan
menggauli, bermakna juga “dhomma wa jama’a” berarti menghubungkan atau menghimpun,
dan dalam perkataan arab bermakna “al-wath-u” berarti bersetubuh. Sedangkan
secara terminologi nikah berarti melaksanakan akad dengan seorang wanita dengan
maksud untuk mendapatkan kenikmatan dengannya dan mendapatkan anak (keturunan)
serta manfaat-manfaat yang lain yang ada hubungan dengan berbagai kemaslahatan
dilaksanakan nikah.
Ta’rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan
dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan yang bukan mahram. Faedah yang terbesar dalam
pernikahan yang sejati dalam Islam adalah bermaksud untuk kemaslahatan dalam
rumah tangga dan keturunan, juga untk kemaslahatan masyarakat. Oleh sebab itu,
syariat Islam mengadakan beberapa peraturan untuk menjaga keselamatan
pernikahan.[6]
Akad (nikah dari bahasa Arab عقد) atau ijab qabul,
merupakan ikrar pernikahan. Yang dimaksud akad pernikahan adalah ijab dari
pihak wali perempuan atau wakilnya dari qabul dari pihak calon suami atau
wakilnya. Menurut syara’ nikah adalah satu akad yang berisi diperbolehkannya
melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz انكاح (menikahkan) atau تزويج (mengawinkan). Kata nikah
ini sendiri secara hakiki bermakna akad dan secara majazi bermakna
persetubuhan menurut pendapat yang shoheh ;
ويطلق شرعا على
عقد مشتمل على الاركان والشروطا
C.
Rukun Nikah
Adapun rukun nikah ada 5, yaitu :
1.
Wali
2.
Pengantin
laki-laki
3.
Pengantin
perempuan
4.
Dua saksi
laki-laki
5.
Akad nikah
Akad nikah merupakan
syarat wajib dalam proses atau ucapan perkawinan menurut Islam akad nikah boleh
dijalankan oleh wali atau diwakilkan kepada juru nikah.
وشروط الصيغة كونها بصريح مشتق انكاح او تزويج
ولو بغير العربية جيث فهما العقدان والشاهدان. ولا يصح عقد النكاح الا بولي غدل او
ماذونه والعدالة ليست بشرط في الولى. وانما السرط عدم الفسق وفى بعض النسخ بولى
ذكر وهو اي الذكور – إختراز عن الأنثى فانما لا تزوج نفسها ولا غيرها.
Syarat (akad) yaitu adanya akad itu jelas
keluar dari lafadz نكاح
atau تزويج
(aku nikahi) walaupun akad tersebut tanpa menggunakan bahasa arab sekitarnya
kedua lafadz itu dipahami oleh dua orang yang akad dan dua saksi.
Dan tidak sah akad nikah kecuali dengan wali
yang adil, atau orang yang mendapatkan ijin wali. Syarat dalam wali itu
disyaratkan tidak fasiq di sebagian nusakh itu harus wali laki-laki yang lebih
diunggulkan dari pada wanita, karena sesungguhnya wanita itu tidak bisa
menikahkan diri sendiri atau menikahkan orang lain.
ولا يصح عقد
النكاح ايضا الا بحضور شاهدى عدل
Dan tidak sah juga akad nikah kecuali dengan
hadirnya dua orang saksi yang adil.
D.
Pandangan Masyarakat Terhadap Akad Nikah Lewat
Telepon Menurut Hukum Islam
Menentukan sah atau
tidaknya
suatu nikah, tergantung pada dipenuhi atau
tidaknya
rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon
dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi,
wali pengantin putri, dan ijab qabul. Namun, jika dilihat dari segi
syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan atau kekurangan untuk dipenuhi.
Misalnya, identitas calon suami istri perlu
dicek ada atau tidaknya hambatan untuk kawin (baik karena
adanya larangan agama atau peraturan perundang-undangan) atau ada tidaknya
persetujuan dari kedua belah pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon
sebelum akad nikah adalah cukup sukar. Demikian pula pengecekan tentang
identitas wali yang tidak bisa hadir tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan
ijab qabul langsung dengan telepon. Juga para saksi yang sahnya mendengar
pernyataan ijab qabul dari wali dan pengantin putra lewat telepon dengan
bantuan mikropon, tetapi mereka tidak bisa melihat apa yang disaksikan juga
kurang meyakinkan. Demikian pula ijab qabul yang terjadi di tempat yang berbeda
lokasinya, apalagi yang sangat berjauhan seperti antara Jakarta dan Bloomington
Amerika Serikat yang berbeda waktunya sekitar 12 jam sebagaimana yang telah
dilakukan oleh Prof. Dr Baharuddin yang mengawinkan putrinya di Jakarta (dra.
Nurdiani) dengan Drs. Ario Sutarti yang sedang belajar di Universitas Indiana
Amerika Serikat pada hari sabtu tanggal 13 Mei 1989 pukul 10.00 WIB bertepatan
hari jumat pukul 22.00 waktu Indiana Amerika Serikat.
Karena itu, nikah lewat telepon itu tidak sah dan
dibolehkan menurut Hukum Islam, karena selain terdapat kelemahan atau kekurangan
dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya sebagaimana
diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syara’ sebagai berikut :
1.
Nikah itu termasuk ibadah.
Karena itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah
nabi yang shahih, berdasarkan kaidah hukum:
الاصل فى
العبادة حرام
“Pada dasarnya,
ibadah itu haram”.
Artinya, dalam
masalah ibadah, manusia tidak boleh membuat-buat (merekayasa aturan sendiri).
2.
Nikah merupakan
peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah
sembarangan akad, tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sacral dan
syiar islam serta tanggungjawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman
Allah dalam al-Quran surat nisa’ ayat : 21.
y#øx.ur
¼çmtRräè{ù's?
ôs%ur
4Ó|Óøùr&
öNà6àÒ÷èt/
4n<Î)
<Ù÷èt/
cõyzr&ur
Nà6ZÏB
$¸)»sVÏiB
$ZàÎ=xî
ÇËÊÈ
“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil
dari kamu Perjanjian yang kuat”. (QS. Nissa’: 21)
3.
Nikah lewat telepon
mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan
(gharar/khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused
atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat
nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan
hadist Nabi atau kaidah fiqih
لا ضرر ولا
ضرارا
“Tidak boleh membuat mudarat kepada diri
sendiridan kepada orang lain”.
Dan hadis Nabi
دعما يريبك الا
مالا يريبك
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau,
(berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak meragukan engkau”.
درء المفاسد
مقدم على جلب المصالح
“Menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan
atas usaha menarik (mencari) maslahah”.
Membahas
tentang hukum pernikahan via telekomference tidak bisa lepas dari pembahasan rukun
dan syarat pernikahan. Meskipun para ulama terjadi perbedaan pendapat tentang
rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan, namun pada dasarnya mereka sepakat
bahwa shighat ijab qabul adalah salah satu dari rukun yang harus dilaksanakan.
Selain itu, Hanafiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabillah sepakat bahwa pernikahan
harus dihadiri oleh dua orang saksi, kecuali Malikiyyah yang tidak mensyaratkan
adanya saksi dalam akad perkawinan. Namun sebaliknya, beliau
mensyaratkan adanya i'lan (pemberitahuan) pernikahan kepada halayak umum. Meskipun selain ijab qabul dan saksi
masih ada rukun-rukun pernikahan yang lain, namun dua rukun tersebut sangat
perlu adanya pembahasan secara mendetail dan mendasar untuk dapat menjawab dan
menghukumi pernikahan via telekomference. Sebab pernikahan via telekomference
erat sekali hubungannya dengan masalah shighat dan saksi.
Dalam
masalah ijab qabul, para ulama mensyaratkan terhadap ijab qabul dengan beberapa
syarat, yaitu:
ü
Diucapkan dengan kata-kata tazwij
dan inkah, kecuali dari kecuali dari Malikiyyah yang memperbolehkan ijab qabul
dengan memakai kata-kata hibbah (pemberian).
ü
Ijab Qabul harus dilaksanakan dalam
satu majlis (satu tempat).
Pengertian satu majlis oleh jumhur ulama (mayoritas)
difahamkan dengan kehadiran mereka dalam satu tempat secara fisik. Pendapat ini
dikeluarkan oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, dan mereka juga
pendapat bahwa surat adalah kinayah. Hal ini beda dengan Hanafiyyah, beliau
memahami satu majlis bukan dari segi fisik para pihak, namun hanya ijab dan
qabul para pihak harus dikatakan di satu tempat dan secara berkontiu. Dari
pendapat ini, Hanafiyyah memperbolehkan akad nikah melalui surat, asalkan surat
tersebut dibacakan didepan saksi dan pernyataan dalam surat segera dijawab oleh
pihak-pihak. Menurut Hanafi, surat yang dibacakan di depan saksi dapat
dikatakan sebagai ijab dan atau qabul dan harus segera dijawab. Dari pendapat
Hanafiyyah tersebut, menurut KH. Sahal Mahfudz dapat dianalogkan bahwa
pernikahan dianggap sah hukumnya dilakukan lewat media komunikasi seperti
internet, teleconference dan faximile.
Sedangkan menurut pendapat yang shahih (ada yang mengatakan al-Madzhab) dari Ulama syafi'iyyah, ijab qabul tidak boleh dilakukan melalui surat-menyurat. Baik ijab kabul dalam transaksi muammalat lebih-lebih dalam pernikahan. Mereka beralasan bahwa ijab kabul adalah suatu sarana untuk menjukkan kedua belah pihak saling ridla akan adanya transaksi, dan ridla tidak bisa diyakinkan hanya melalui sepucuk surat. Selain itu, surat tidak cukup kuat dijadikan alat bukti oleh saksi apa bila telah terjadi persengketaan tentang akad tersebut. Solusi yang ditawaran oleh Syafi'iyyah adalah dengan mewakilkan akad pernikahan kepada seseorang, kemudian wakil tersebut hadir dalam majlis akad pernikahan. Jika demikian (mewakilkan akad), maka para ulama sepakat bahwa transaksi yang diwakilkan hukumnya sah. Rasulullah SAW sendiri pernah mewakilkan pernikahannya kepada Amr bin Umiyyah dan Abu Rafi'.
Sedangkan menurut pendapat yang shahih (ada yang mengatakan al-Madzhab) dari Ulama syafi'iyyah, ijab qabul tidak boleh dilakukan melalui surat-menyurat. Baik ijab kabul dalam transaksi muammalat lebih-lebih dalam pernikahan. Mereka beralasan bahwa ijab kabul adalah suatu sarana untuk menjukkan kedua belah pihak saling ridla akan adanya transaksi, dan ridla tidak bisa diyakinkan hanya melalui sepucuk surat. Selain itu, surat tidak cukup kuat dijadikan alat bukti oleh saksi apa bila telah terjadi persengketaan tentang akad tersebut. Solusi yang ditawaran oleh Syafi'iyyah adalah dengan mewakilkan akad pernikahan kepada seseorang, kemudian wakil tersebut hadir dalam majlis akad pernikahan. Jika demikian (mewakilkan akad), maka para ulama sepakat bahwa transaksi yang diwakilkan hukumnya sah. Rasulullah SAW sendiri pernah mewakilkan pernikahannya kepada Amr bin Umiyyah dan Abu Rafi'.
Jumhur Ulama sepakat pernikahan
tidak sah kecuali dengan hadirnya saksi-saksi. Kecuali ulama Malikiyyah, mereka
tidak mensyaratkan adanya saksi, namun pernikahan wajib diumumkan kepada
halayak umum. Bagi ulama yang mewajibkan adanya saksi mensyaratkan sebagai
berikut:
Ø
Aqil Baligh
Ø
Merdeka
Ø
Islam
Ø
Dapat mendengar dan melihat
Dari empat syarat daripada saksi di atas, hanya satu yang
akan kita bahas bersama yaitu syarat mendengar dan melihat. Mendengar dan
melihat adalah dua komponen yang harus bersama-sama. Tidak cukup hanya
mendengar suara pihak-pihak tanpa adanya wujud secara fisik, begitu juga hanya
melihat wujud fisik para pihak, na,un tidka mendengar suara ijab qabulnya.
Dari syarat tersebut, Syafi'iyyah sepakat menolak bahwa akad nikah yang dilakukan melalui pesawat telepon tidak sah, karena para saksi tidak melihat fisik para pihak. Hal ini karena tujuan saksi adalah mengantisipasi terjadinya persengketaan akad, dan mereka (saksi) tidak dapat diterima jika hanya mendengar suara tanpa rupa. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Muhammad Abu Bakar Syatha, bahwa saksi harus melihat dan mendengar ijab qabul secara langsung keluar dari mulut para pihak. Alasan dari pendapat ini adalah, bahwa seorang saksi harus dapat meyakini hal yang disaksikan dan tidak boleh hanya prasangka, sebab mendengar suara tanpa melihat rupa tidak dapat menimbulkan suatu keyakinan dalam hati saksi. Namun ada yang menarik dari pendapat Ibnu Hajar Al-Astqolani, jika saksi meyakini bahwa yang ia dengar adalah betul suara para pihak dengan adanya indikasi-indikasi, maka hukumnya diperbolehkan. Indikasi tersebut seperti contoh, ia meyakini bahwa di dalam kamar hanya ada satu orang bernama Zaed dikarenakan ia sendiri telah memeriksa ke dalam kamar. Kemudian ia mendengar suara dari dalam kamar tersebut dan meyakini suara itu adalah suara Zaed. Jika demikian maka kesaksian saksi dengan hanya mendengar suara di dalam kamar diperbolehkan, sebab dalam benaknya ada keyakinan. Dari pendapat Ibnu Hajar tersebut dapat kita tarik benang merah bahwa, jika yang hadir dalam majlis tersebut (termasuk saksi) meyakini karena adanya indikasi-indikasi kuat bahwa yang sedang berbicara atau yang sedang dilihat dalam telekomference memang pihak yang bersangkutan, maka akad pernikahan hukumnya diperbolehkan dan sah.
Dari syarat tersebut, Syafi'iyyah sepakat menolak bahwa akad nikah yang dilakukan melalui pesawat telepon tidak sah, karena para saksi tidak melihat fisik para pihak. Hal ini karena tujuan saksi adalah mengantisipasi terjadinya persengketaan akad, dan mereka (saksi) tidak dapat diterima jika hanya mendengar suara tanpa rupa. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Muhammad Abu Bakar Syatha, bahwa saksi harus melihat dan mendengar ijab qabul secara langsung keluar dari mulut para pihak. Alasan dari pendapat ini adalah, bahwa seorang saksi harus dapat meyakini hal yang disaksikan dan tidak boleh hanya prasangka, sebab mendengar suara tanpa melihat rupa tidak dapat menimbulkan suatu keyakinan dalam hati saksi. Namun ada yang menarik dari pendapat Ibnu Hajar Al-Astqolani, jika saksi meyakini bahwa yang ia dengar adalah betul suara para pihak dengan adanya indikasi-indikasi, maka hukumnya diperbolehkan. Indikasi tersebut seperti contoh, ia meyakini bahwa di dalam kamar hanya ada satu orang bernama Zaed dikarenakan ia sendiri telah memeriksa ke dalam kamar. Kemudian ia mendengar suara dari dalam kamar tersebut dan meyakini suara itu adalah suara Zaed. Jika demikian maka kesaksian saksi dengan hanya mendengar suara di dalam kamar diperbolehkan, sebab dalam benaknya ada keyakinan. Dari pendapat Ibnu Hajar tersebut dapat kita tarik benang merah bahwa, jika yang hadir dalam majlis tersebut (termasuk saksi) meyakini karena adanya indikasi-indikasi kuat bahwa yang sedang berbicara atau yang sedang dilihat dalam telekomference memang pihak yang bersangkutan, maka akad pernikahan hukumnya diperbolehkan dan sah.
E.
Analisis Tentang Pandangan Masyarakat Terhadap Akad Nikah Lewat Telepon
Peristiwa akad nikah lewat telepon itu
mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat contohnya pada tanggal 13 Mei
1989 terjadi akad nikah jarak jauh Jakarta-Bloomington Amerika Serikat lewat
telepon, yang dilangsungkan di kediaman Prof. Dr. Baharuddin Harahap di
Kebayoran Baru Jakarta. Calon suami drs. Ario sutarto yang sedang bertugas
belaar di program pasca sarjana Indiana University AS, sedangkan calon istri
adalah dra. Nurdiani, putri guru besar IAIN Jakarta itu. Kedua calon suami
istri itu sudah lama berkenalan sejak sama-sama belajar dari tingkat satu IKIP
Jakarta, dan kehendak keduanya untuk nikah juga sudah mendapat restu dari orang
tua kedua belah pihak.
Sehubungan dengan tidak bisa hadirnya calon mempelai
laki-laki dengan alasan tiadanya beaya perjalanan pulang pergi AS- Jakarta dan
studinya agar tidak terganggu, maka disarankan oleh pejabat pencatat nikah
(KUA) agar diusahakan adanya surat taukil (delegation of authority) dari calon
suami kepada seseorang yang bertindak mewakilinya dalam akad nikah (ijab
qobul) nantinya di Jakarta.
Setelah waktu pelaksanaan akad nikah tinggal
sehari belum juga datang surat taukil itu, padahal surat undangan untuk
walimatul urs sudah tersebar, maka Baharuddin sebagai ayah dan wali pengantin putri
mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara akad nikah pada
tanggal 13 Mei 1989, antara lain dengan melengkapi pesawat telepon dirumahnya
dengan alat pengeras suara (mikrofon) dan dua alat perekam, ialah kaset, tape
recorder dan video. Alat pengeras suara itu dimaksudkan agar semua orang yang
hadir di rumah Baharuddin dan juga di tempat kediaman calon suami di AS itu
bisa mengikuti upacara akad nikah dengan baik, artinya semua orang yang hadir
di dua tempat yang terpisah jauh itu dapat mendengarkan dengan jelas pertanyaan
dengan ijab dari pihak wali mempelai putri dan pernyataan qabul dari pihak mempelai laki-laki; sedangkan
alat perekam itu dimaksudkan oleh Baharuddin sebagai alat bukti otentik atas
berlangsungnya akad nikah pada hari itu.
Setelah akad nikah dilangsungkan lewat telepon, tetapi
karena surat taukil dari calon suami belum juga datang pada saat akad nikah
dilangsungkan, maka kepala KUA Kebayoran Baru Jakarta Selatan tidak bersedia
mencatat nikahnya dan tidak mau memberikan surat nikah, karena menganggap
perkawinannya belum memenuhi syarat sahnya nikah, yakni hadirnya mempelai
laki-laki atau wakilnya.
Peristiwa nikah tersebut mengundang reaksi yang cukup
luas dari masyarakat, terutama dari kalangan ulama dan cendekiawan muslim. Kebanyakan
mereka menganggap tidak sah nikah lewat telepon itu, antara lain Munawir
Syadzali, M.A Mentri Agama RI, K.H. Hasan Basri, ketua umum MUI pusat, dan
prof. dr. Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka dapat membenarkan tindakan kepala
KUA tersebut yang tidak mau mencatat nikahnya dan tidak memberikan surat
nikahnya. Dan inti alasan mereka ialah bahwa nikah itu termasuk ibadah,
mengandung nilai sacral, dan nikah lewat telepon itu bisa menimbulkan confused
(keraguan) dalam hal ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syarat
secara sempurna menurut hukum Islam.
Ada ulama yang berpendapat bahwa status nikah lewat
telepon itu syubhat, artinya belum safe, sehingga perlu tajdid nikah
(nikah ulang) sebelum dua manusia yang berlainan jenis kelaminnya itu melakukan
hubungan seksual sebagai suami istri yang sah. Adapula ulama
yang berpendapat, bahwa nikah lewat telepon tidak diperbolehkan, kecuali dalam
keadaan darurat. Tetapi kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim menganggap
nikah lewat telepon itu tidak sah secara mutlak.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian yang penulis sampaikan di muka,
dapat lah penulis simpulkan dan sarankan sebagai berikut :
a)
Masyarakat adalah
sejumlah manusia yang merupakan satu kesatuan golongan yang berhubungan tetap
dan mempunyai kepentingan yang sama. Sedangkan nikah adalah salah satu asas
pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna.
Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur
kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dipandang sebagai satu jalan
menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu
akan mrnjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang
lainnya.
b)
Nikah lewat
telepon tidak boleh dan tidak sah, karena bertentangan dengan ketentuan hukum
syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
c)
Akad dalam pernikahan adalah suatu
hal yang sangat sakral dan merupakan peristiwa penting yang harus diabadikan.
Sehingga Jumhur Ulama berpendapat pelaksanaan akad nikah terutama yang
berhubungan dengan ijab qabul harus dilakukan dalam satu tempat (satu majlis).
Pengertian satu majlis terjadi perbedaan pendapat:
v
Menurut Jumhur Ulama satu majlis
difahamkan dengan berkumpulnya para pihak dalam satu tempat secara fisik.
v
Menurut Hanafiyyah dan sebagian
kecil Syafi'iyyah memahamkan satu majlis adalah ijab qabulnya secara
kontekstual bukan fisik nyata para pihak.
Selain
itu antara ijab qabul harus kontinyu dan tidak ada penghalang. Hal ini
tanpa memandang secara fisik para pihak hadir dalam majlis atau tidak, sebab
menurut pendapat ini akad nikah (ijab atau qabul) melalui surat diperbolehkan.
d)
Penetapan atau putusan pengadilan agama Jakarta Selatan yang
mengesahkan nikah lewat telepon No. 175/P/1989 tanggal 20 April 1990 merupakan
preseden yang buruk bagi dunia Peradilan Agama di Indonesia, karena melawan
arus dan berlawanan dengan pendapat mayoritas dari dunia Islam.
e)
penetapan
peradilan agama tersebut hendaknya tidak dijadikan oleh para hakim pengadilan
agama seluruh Indonesia sebagai yurisprudensi untuk membenarkan dan mengesahkan
kasus yang sama .
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jazairi, Abu Bakr
Jabir. Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim. Jakarta: Darul Falah,
2001.
Hamalik, Oemar. Dasar-Dasar
Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2011.
Latif,
Abdul. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: Refika Aditama, 2009.
Nasution. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Padil, Moh. dkk. Sosiologi
Pendidikan. Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012.
Sumber Internet:
[1] Nasution, Sosiologi
Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 60.
[2] Abdul Latif, Pendidikan
Berbasis Nilai Kemasyarakatan, (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 33.
[3] Moh. Padil dkk. Sosiologi
Pendidikan, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hh. 193-194.
[4]Oemar Hamalik, Dasar-Dasar
Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2011), h. 74.
[5] Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim Minhajul
Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2001), h. 574.
Komentar
Posting Komentar