Peradilan Agama Masa Jepang



BAB I
PENDAHULUAN

Eksistensi Peradilan Agama di Nusantara (Indonesia), pada hakikanya merupakan perwujudan dari keinginan masyarakat muslim untuk menyelesaikan permasalahan dan perkara kehidupan mereka sehari-hari berlandaskan ajaran-ajaran agama Islam yang mereka yakini sebagai pedoman kehidupan baik dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, dalam sejarah muncul dan berkembangnya Islam di bumi Nusantara atau Indonesia ini, tercatat usaha-usaha pembentukan peradilan agama yang menangani masalah-masalah sosial dan kemasyarakatan umat Islam seperti masalah keluarga, perkawinan, kewarisan dan hukum-hukum lain yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara yang dalam bahasa hukumnya dapat disebut sebagai masalah-masalah perdata dan pidana.
Pada tahun 1942 Indonesia diduduki oleh Jepang, kebijaksanaan yang dilakukan oleh Jepang terhadap perundang-undangan dan pengadilan ialah bahwa semua peraturan perundang-undangan ialah semua peraturan yang berasal dari Belanda dan tidak mengalami perubahan. Setelah Belanda berkuasa lebih kurang tiga setengah abad lamanya, akhirnya Pemerintah Belanda dapat dikalahkan oleh Jepang dalam tempo dua bulan yang menandai berakhirnya penjajahan Barat di bumi Indonesia. Dalam konteks administrasi penyelenggaraan negara dan kebijakan-kebijakan terhadap pelaksanaan hukum Islam di Indonesia terkesan bahwa Jepang memilih untuk tidak terlalu merubah beberapa hukum dan peraturan yang ada. Sebagaimana Belanda pada masa-masa awal penjajahannya, rezim Jepang sekarang mempertahankan adat istiadat lokal dan agama tidak boleh dicampurtangani.
Pada masa Jepang ini peradilan agama hampir saja terhapuskan karena dalam sidang dewan pertimbangan (sanyo kaigi) dipersoalkan apakah urusan agama islam dilaksanakan oleh pemerintah, dan apakah pengadilan agama berdiri terpisah dengan pengadilan negeri atau menjadi bagian dari pengadilan negeri, dengan mengangkat penasihat urusan agama. Jepang berpendirian untuk mengadakan keseragaman (unifikasi) dalam peradilan, yaitu satu peradilan untuk semua golongan penduduk kecuali untuk bangsa jepang. Meninjau secara ringkas tentang keadaan peradilan diseluruh Indonesia zaman jepang adalah sukar sekali, oleh karena daerah-daerah Indonesia pada zaman pendudukan jepang dibagi-bagi dalam kekuasaan yang berbeda. Dalam maklah ini akan mencoba membahas tentang hal-hal apa saja yang berkaitan dengan peradilan agama pada koonial Jepang.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Keberadaan Peradilan Agama Pada Masa Jepang
Di masa penjajahan atau pendudukan Jepang tidak ada perubahan berarti mengenai Pengadilan Agama. Keadaan yang telah ada di zaman Hindia Belanda, dilanjutkan sampai Jepang kalah dalam perang dunia kedua. Hanya dalam zaman Jepang ada beberapa upaya atau usaha mengenai Peradilan Agama dan wewenangnya. Para pemimpin nasionalis Islami melalui Abikoesno Tjokro Soejoso menghendaki agar kedudukan Peradilan Agama lebih dikukuhkan dan wewenangnya menyelesaikan sengketa warisan antara umat Islam dikembalikan seperti keadaan sebelum 1 April 1937. Di samping itu di pihak lain, pemimpin nasionalis sekuler seperti Sartono menghendaki agar Pengadilan Agama dihapuskan saja. Dalam sebuah suratnya kepada Pemerintah Jepang, ia mengatakan,” Cukuplah segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat meminta pertimbangan seorang ahli agama.” Pemimpin nasionalis sekuler yang lain, Soepomo yang menjadi penasehat soal-soal hukum pemerintah pendudukan Jepang menentang pemulihan kembali wewenang pengadilan agama yang dikehendaki oleh pemimpin-pemimpin Islam.[1]
Namun, bagaimanapun rintangan yang diletakkan, usaha pemimpin-pemimpin Islam untuk mengembalikan dan menempatkan hukum Islam dalam kedudukannya semula, terus dilakukan dalam berbagai kesempatan yang terbuka. Demikianlah, ketika Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemedekaan Indonesia bersidang dalam masa penjajahan Jepang itu untuk merumuskan dasar negara dan menentukan hukum dasar bagi negara Indonesia merdeka di kemudian hari, para pemimpin Islam yang menjadi anggota badan tersebut terus berusaha ‘mendudukkan’ hukum Islam dalam negara Indonesia itu kelak. Dalam musyawarah, pemimpin Indonesia, baik yang Islami ataupun sekuler yang menjadi perancang dan perumus UUD RI yang kemudian terkenal dengan UUD 1945 mencapa persetujuan yang dituangkan ke dalam suatu piagam yang kelak terkenal dengan nama Piagam Jakarta yang diterima oleh BPUPKI sebagai mukadimmah/pembukaan UUD, dinyatakan di sana antara lain bahwa negara berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. ‘Tujuh kata terakhir ini kemudian  dihilangkan dari Pembukuan UUD 1945 yang berasal dari Piagam Jakarta itu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 dengan imbalan tambahan kata Yang Maha Esa pada perkataan ketuhanan dalam pembukaan itu, dan dijadikan garis hukum di dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 29 ayat 1 tafsirnya antara lain: (1) dalam negara RI tidak boleh terjadi/berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama nasrani bagi umat nasrani.[2]
Itu berarti bahwa di dalam negara RI tidak boleh berlaku atau diberlakukan hukum yang bertentangan dengan norma-norma hukum agama dan norma kesusilaan bangsa Indonesia.(2) negara RI wajib menjalankan syari’at Islam bagi umat Islam, nasrani bagi nasrani, budha bagi budha, hindu bagi hindu, sekedar menjalankan syari’at tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara. Makna tafsirannya yaitu: Negara RI wajib menjalankan dalam makna menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dipeluk dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara negara.
Syari’at yang berasal dari Islam misalnya hukum harta kekayaan, wakaf, penyelenggaraan ibadah haji, pelanggaran-pelanggaran pidana (islam) seperti zina,pelanggaran-pelanggaran hukum perkawinan dan kewarisan yang memerlukan kekuasaan kehakiman atau peradilan khusus (agama) untuk menjalankannya yang hanya dapat diadakan oleh negara dalam rangka pelaksanaan kewajibannya menjalankan syari’at yang berasal dari agama Islam untuk kepentingan umat Islam yang menjadi warga negara RI. (3) syari’at yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk melaksanaknnya karena dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan menjadi kewajiban pribadi pemeluk agama itu sendiri, menjalankan menurut agamanya masing-masing. Ini berarti hukum yang berasal dari suatu agama yang diakui oleh negara yang dapat dijalankan sendiri oleh masing-masing pemeluk agama bersangkutan.[3]
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam UUD 1945 itu artinya adalah (ber)kesesuaian dengan hakikat Tuhan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan  syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dann beradab. kewajiban itu adalah kewajiban negara untuk memberi kesempatan kepada umat Islam untuk beribadah melaksanakan hukum perkawinan, kewarisan, terutama yang telah lama menjadi wewenang pengadilan agama, dalam berbagai bentuk dan nama, sejak agama Islam datang ke Indonesia.[4]
B.  Peranan Kolonial Jepang Terhadap Peradilan Agama
Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Bala Tentara Jepang melalui dekritnya No.1 tahun 1942 menyatakan, semua badan pemerintahan beserta wewenangnya, semua undang-undang, tata hukum dan semua peraturan dari pemerintahan yang lama dianggap masih tetap berlaku dalam waktu yang tidak ditentukan selama tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Bala Tentara Jepang.[5]
Kemudian dekrit No.14 tahun 1942 tanggal 29 April menetapkan bahwa susunan peradilan sipil di Jawa dan Madura masih tetap berlaku sebagaimana sebelumnya, hanya saja nama-namanya disesuaikan dengan nama dan sebutan dalam bahasa Jepang, untuk nama kedudukan para pejabat dan nama kantor, sementara fungsi  dan wewenangnya sama dengan masa kolonial Belanda. Penggantian nama terjadi, misalnya Pengadilan Distrik diganti dengan Gun Hooin, Pengadilan Kabupaten  diganti dengan Ken Hooin, Rad van Justitie (pengadilan Negeri) diganti dengan Tihoo Hooin, sementara pengadilan agama diganti dengan nama Sooryo Hooin.[6]
Pada saat yang sama pengadilan Residensi dan Raad van Justitie bagi golongan Eropa, keduanya sebagai pengadilan tingkat pertama dihapus, sehingga seluruh perkara banding yang telah diajukan kepadanya sebelum dekrit Nomor 14 tahun 1942 ini dianggap tidak pernah diajukan. Di samping itu, sejak waktu ini didirikan Pengadilan Militer yang harus mengadili orang-orang dalam golongan tertentu.[7] Undang-Undang nomor 34 tahun 1942 tanggal 26 September 1942 mencabut dekrit nomor 14 tahun 1942, dan menetapkan tetap berlakunya semua pengadilan yang sudah ada dengan tambahan berdirinya kembali Kootoo Hooin  dan Saiko Hooin dengan tugas wewenangnya pada waktu sebelumnya, yaitu masa pemerintahan Belanda. Yang dimaksud Kootoo Hooin adalah pengadilan biasa untuk perkara perdata dan pidana bagi golongan Eropa termasuk Tiong Hoa. Sedang yang dimaksud Saikoo Hooin adalah Pengadilan Tertinggi yang mengadili perkara pidana bagi pejabat tinggi yang juga merupakan pengadilan banding baik untuk perkara perdata maupun pidana.[8]
Pada masa pendudukan Jepang, meski belum sempat diterapkan, kedudukan peradilan agama pernah terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintah Balatentara Jepang (Guiseikanbu) mengajukan pertanyaan kepada Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka maksud Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, yaitu bagaimana sikap Dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama dalam negara Indonesia Merdeka kelak. Pada 14 April 1945 Dewan memberi jawaban sebagai berikut: dalam negara baru yang memisahkan urusan negara dengan urusan agama tidak perlu mengadakan pengadilan agama sebagai pengadilan istimewa, untuk mengadili urusan seseorang yang bersangkut paut dengan agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa ynag dapat minta pertimbangan seorang ahli agama.[9]
Masa pendudukan Jepang ini ahli-ahli hukum Indonesia memikirkan untuk menghapus pengadilan agama. Pemikiran ini muncul dari Soepomo, penasihat departemen Kehakiman ketika itu dan ahli hukum adat. Ia setuju agar hukum Islam tidak berlaku dan ingin menegakkan hukum adat. Dalam hal ini ia setuju dengan pendapat kalangan ahli hukum Belanda.[10] Sedangkan golongan Islam menginginkan tetap mempertahankan Peradilan Agama dan pemulihan kewenangan Peradilan Agama di bidang kewarisan. [11]Tetapi usul Soepomo dalam suatu laporan tentang Pengadilan agama itu diabaikan oleh Jepang saja, karena khawatir akan menimbulkan protes dari umat Islam. Kebijakan Pemerintah Bala Tentara Jepang untuk tidak mengganggu gugat persoalan agama, sebab tindakan itu dapat merusak ketentraman konsentrasi Jepang. Oleh sebab itu Jepang memilih untuk tidak ikut campur soal urusan agama umat.[12]
Pemerintah Jepang tidak banyak melakukan perubahan-perubahan hukum sebagai dasar pelaksanaan Peradilan Agama di Indonesia. Oleh pemerintah Jepang, Pengadilan Agama tidak jadi dihapuskan karena menyerah tanpa syarat kepada Sekutu dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Dan peradilan agama tetap eksis di samping peradilan-peradilan yang lain. [13]

C.      Mekanisme Peradilan Agama Pada Masa Kolonial Jepang
Kebijaksanaan yang dilakukan oleh Jepang terhadap perundang-undangan dan pengadilan ialah segala peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masa Belanda tetap berlaku, hanya namanya saja yang digantikan. Daniel S.Lev melukiskan kebijakan Jepang sebagai berikut:
Sejumlah kecil perubahan struktur dipikirkan selain hapusnya sama sekali penguasaan Belanda dan penggantinya dengan penguasaan Jepang. Demi kemudahan administrasi sebagian besar hukum dan peraturan yang ada tetap diberlakukan.” Para kepala dan pejabat pribumi yang memerhatikan keinginan yang tulus untuk bekerja sama dengan Jepang akan tetap dipekerjakan sebanyak mungkin, dan seperti halnya Belanda sebelum Jepang, “adat kebiasaan setempat, hal-hal yang lazim dilakukan, dan agam tidak dicampuri untuk sementara waktu. Selanjutnya berkait dengan urusan keperdataan pribadi, adat kebiasaan dan adat istiadat mereka harus dihormati dengan cermat, dan perlakuan khusus diperlakukan sehingga tidak memancing permusuhan dan ketidaksepahaman yang tidak berguna.[14]
Kendati demikian tetap saja Jepang mengambil kebijakan-kebijakan yang menjadikan karakter pemerintahannya berbeda dengan Belanda. Jepang ingin menghapus segala simbol pemerintahan Belanda di Indonesia. di samping itu Jepang juga mmenekan segala gerakan-gerakan anti penjajahan. Perubahan tersebut terlihat bagaimana Jepang membagi wilayah Indonesia ke dalam tiga zona administrasi; satu di Jakrta untuk mengatur Jawa dan Madura, satu di Singapura yang mengatur Sumatera dan komando angkatan laut di Makassar yang mengatur keseluruhan Nusantara di luar tiga pulau terdahulu.[15]

D.      Kewenangan Peradilan Agama pada Masa Jepang
Lembaga Pengadilan Agama yang sudah ada sejak penjajahan Belanda, tetap berdiri dan di biarkan bentuknya semula. Perubahan yang yang dilakukan terhadap lembaga ini hanyalah dengan memberikan atau mengubah nama saja yaitu sooryoo hooin untuk pengadilan agama dan kaikyoo kootoo hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi (Pengadilan Tinggi Agama).
Jepang berpendirian untuk mengadakan keseragaman (unifikasi) dalam peradilan, yaitu satu peradilan untuk semua golongan penduduk kecuali untuk bangsa jepang, meninjau secara ringkas tentang keadaan peradilan diseluruh Indonesia zaman jepang adalah sukar sekali, oleh karena daerah-daerah Indonesia pada zaman pendudukan jepang dibagi-bagi dalam kekuasaan yang berbeda, yakni Sumatra adalah termasuk daerah angkatan darat yang berpusat di shonanto (Singapura), Jawa, Madura dan Kalimantan adalah daerah angkatan darat yang berpusat di Jakarta, sedang Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara adalah daerah angkatan laut yang berpusat di Makasar.[16]
Peradilan agama pada masa Jepang ini kewenangannya masih tetap sama dengan pada masa kolonial Belanda yaitu kewenangan peradilan agama di Jawa dan Madura meliputi:
1.      Perselisihan hukum antara suami istri yang beragama Islam
2.      Perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk, perceraian antara orang-orang Islam yang harus diputus oleh hakim agama
3.      Menyatakan perceraian
4.      Menyatakan bahwa syarat-syarat taklik talak sudah berlaku
5.      Perkara mahar atau maskawin
6.      Perkara nafkah wajib suami kepada istri[17]
Peradilan pada masa ini, golongan Islam menginginkan pemulihan kewenangan peradilan agama di bidang kewarisan yang pada masa kolonial Belanda kewnangan peradilan agama dalam hal perkawinan dan kewarisan pun dibatasi dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan urusan negara. Pada tanggal 29 April 1942 Pemerintah Bala Tentara Dai Nippon mengeluarkan UU No 14 tahun 1942 tentang Pengadilan Bala Tentara Dai Nippon. Di dalam pasal 1 disebutkan bahwa di tanah Jawa dan Madura telah diadakan Gunsei Hooin pengadilan pemerintahan bala tentara. Dalam UU ini tidak disebutkan mengenai bentuk pengadilan termasuk pengadilan agama untuk wilayah Indonesia di luar Jawa dan Madura.
Dalam pasal 3 disebutkan bahwa untuk sementara waktu Gunsei Hooin (pengadilan pemerintah bala tentara) terdiri atas: Tihoo Hooin (pengadilan negeri), Keizi Hooin (hakim polisi), Ken Hooin (pengadilan kabupaten), Gun Hooin (pengadilan kewedanan), Kaikoyo Koto Hooin (mahkamah islam tinggi), dan Sooryo Hooin (rapat agama).[18]
Masa pemerintahan Jepang ini menghapuskan dualisme di dalam peradilan dengan Osamu Seirei 1944 No.2 ditetapkan bahwa Tihoo Hooin merupakan pengadilan untuk segala golongan penduduk, dengan menggunakan hukum acara HIR. Dampak dari unifikasi peradilan ini menjadikan peran tetua adat di Sumatera Utara dan kelompok ulebalang mengalami pergeseran. Otoritas mereka pada peradilan adat dihilangkan walaupun otoritas administratif tetap dipertahankan. Agaknya disebabkan Jepang tidak lama menjajah Indonesia, pengaruh kebijakan pemerintahan Jepang terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak begitu tampak. Namun setidaknya perubahan itu terlihat pada struktur kelembagaan peradilan agama Islam.[19]








BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Bala Tentara Jepang melalui dekritnya No.1 tahun 1942 menyatakan, semua badan pemerintahan beserta wewenangnya, semua undang-undang, tata hukum dan semua peraturan dari pemerintahan yang lama dianggap masih tetap berlaku dalam waktu yang tidak ditentukan selama tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Bala Tentara Jepang. Kemudian dekrit No.14 tahun 1942 tanggal 29 April menetapkan bahwa susunan peradilan sipil di Jawa dan Madura masih tetap berlaku sebagaimana sebelumnya, hanya saja nama-namanya disesuaikan dengan nama dan sebutan dalam bahasa Jepang, untuk nama kedudukan para pejabat dan nama kantor, sementara fungsi  dan wewenangnya sama dengan masa kolonial Belanda. Penggantian nama terjadi, misalnya Pengadilan Distrik diganti dengan Gun Hooin, Pengadilan Kabupaten  diganti dengan Ken Hooin, Rad van Justitie (pengadilan Negeri) diganti dengan Tihoo Hooin, sementara pengadilan agama diganti dengan nama Sooryo Hooin
Lembaga Pengadilan Agama yang sudah ada sejak penjajahan Belanda, tetap berdiri dan di biarkan bentuknya semula. Perubahan yang yang dilakukan terhadap lembaga ini hanyalah dengan memberikan atau mengubah nama saja yaitu sooryoo hooin untuk pengadilan agama dan kaikyoo kootoo hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi (Pengadilan Tinggi Agama). Yang dimaksud Kootoo Hooin adalah pengadilan biasa untuk perkara perdata dan pidana bagi golongan Eropa termasuk Tiong Hoa. Sedang yang dimaksud Saikoo Hooin adalah Pengadilan Tertinggi yang mengadili perkara pidana bagi pejabat tinggi yang juga merupakan pengadilan banding baik untuk perkara perdata maupun pidana.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud. 1997. Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Habiburrahman. 2011.  Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana
Halim, Abdul. 2000. Peradilan Agama dalam Politik Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nuruddin, Amiur, Azhari Akmal Taringan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:Kencana.
Wahyudi, Abdullah Tri. 2004. Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
http://barhoya.blogspot.com/2012/03/resume-sejarah-peradilan-agama-di.html



[1] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1997)hal 203
[2] Ibid., hal 204
[3] Ibid.,hal 205-206
[4] Ibid.,hal 207
[5] Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000)hal 67
[6] Ibid., hal 67-68
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.,hal 68-69
[10] Ibid., hal 69
[11] Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004)hal 12
[12] Abdul Halim, Loc.,Cit.
[13] Abdullah Tri Wahyudi, Loc.,Cit.
[14] Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2004)hal 15
[15] Ibid.,hal 15-16
[16] http://barhoya.blogspot.com/2012/03/resume-sejarah-peradilan-agama-di.html
[17] Abdullah Tri Wahyudi, Op.,Cit. Hal 10-11
[18] Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011)hal 123
[19] Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Taringan, Op.,Cit. Hal 16

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ungkapan Dalam Sabab Al-Nuzul dan Urgensi Sabab Al-Nuzul

Al-Qur'an Sebagai Sumber Hukum dan Dalil Hukum